MINAH DAN SEPTI
Hari mulai malam, cahaya kemerahan di langit mulai digantikan kilauan bintang. Minah duduk di serambi rumahnya selepas dari masjid. Ia duduk di atas kursi yang terbuat dari rotan dan sudah tua.Ya, rumah itu memeng sudah tua. Dindingnya sebagian terbuat dari anyaman bambu. Dan lantainya pun masih berupa tanah.
“Minah cepat belajar! Kamu ngapain diluar? Ayo masuk!”seru ibunya dari dalam.
“Iya, Bu,sebentar. Minah mau lihat planet Venus,”jawabnya singkat.
Seketika itu pula ibunya langsung keluar.
“Kamu nggak salah ngomong to, Nduk? Mau lihat planet? Pake apa Nduk? Kamu punya teropong, ya?,”sahut ibunya penasaran sambil melontarkan beberapa pertanyaan.
Minah mau lihat Venus dengan mata. Kata Pak Badrun,Venus itu bisa dilihat langsung dengan mata. Biasanya sering disebut bintang timur, bintang pagi, atau bintang kejora.Venus terlihat seperti bintang, padahal sebenarnya ia bukan bintang. Cahaya yang dipancarkannya itu merupakan pantulan dari sinar matahari.Venus dapat terlihat dari bumi karena jaraknya lebih dekat dibanding planet-planet lainnya. Kalau Ibu mau lihat planet yang jaraknya juauuuh banget, ya harus pakai teropong astronomi atau teleskop,”jawabya sambil memberi penjelasan panjang lebar.
“Wah,…pinter sekali anak Ibu. Nggak sia-sia nih naik sepeda delapan kilo…,”puji ibunya dan Minah pun hanya tersenyum.
*****
“Hai Min, gimana tugas Geografinya?Lusa harus dikumpulin, lho?”sapa Rara begitu tahu salah satu anggota kelompoknya.
“Ya, kira-kira tinggal dikit lagi.Kemarin Wahyu dan Udin juga sudah nyerahin tugasnya ke aku. Tinggal miliknya Zahra saja,”jawab Minah.
“Ya udah kalau begitu, aku mau ke kantin dulu,sarapan,…”
“Key…”
Dan benar, hal itupun terjadi.
Anak-anak,masukkan buku-buku yang berhubungan dengan pelajaran Ekonomi.Hari ini kita ulangan bab Prinsip dan Motif Ekonomi,”intruksi Pak Ikhwan sambil membagikan kertas soal. Dan semua siswa pun menerimanya saja tanpa mengeluh.
Waktu tinggal 10 menit. Belum ada satu anak pun yang meninggalkan tempat.Sesekali mereka melirik ke teman di sampingnya.Namun belum sempat berkata sepatah kata pun…
“Ayo, siapa lagi yang ingin seperti si Hadi atau Ayu? Silakan, formulirnya masih ada.Ayo,gratis kok,”kata Pak Ikhwan
Sontak semua siswa langsung tertawa. Mereka pun tak berani lagi menoleh. Takut.Beberapa siswa terlihat sangat bingung. Malahan, ada yang sampai ketiduran.
“Lily, lihat jawabannya. Cepat!”pinta Septi dengan memaksa.
“Lily memberikan kertasnya tanpa bantahan. Wajahnya pucat. Beberapa anak yang melihatnya pun tak peduli. Mereka harus menyelesaikan soal-soal itu sebelum jam 08.00. Empat menit masih tersisa.
“Septi, ayo cepet.Aku belum selesai itu…,”pinta Lily dengan suara pelan.
“Ni. Dipinjam bentar aja nggak boleh,huu….” Kata Septi tanpa merasa salah. Ia memang selalu begitu. Sombong!
“Sekarang kumpulkan jawaban kalian sedapat-dapatnya.Kalu terpaksa harus kosong juga saya juga terima kok.Tapi jangan lupa, diberi nama!”harap Pak Ikhwan.
“Pak…lima menit lagi. Kurang sedikit kok…,”teriak beberapa siswa.
Namun Pak Ikhwan diam saja. Dengan wajah yang agak kecewa mereka meletakkan kertasnya di atas meja.
*****
“Lily, kamu kenapakok sendirian aja?”sapa Zahra lalu duduk di sampingnya.
“Nggak kenapa-napa kok Za, aku cuma…,”belum sempat ia melanjutkan, air matanya sudah keluar.Ia memeluk tubuh Zahra.
“Kamu kenapa sih Li, kok nangis?”tanya Zahra yang merasa terkejut dengan tingkah Lily.
Tiba-tiba handphone Lily berbunyi.Cepat-cepat ia hapus air matanya.Lalu diangkatnya panggilan dari mamanya itu.
“Waalaikum salam, Ma.”
“O, begitu. Tidak apa-apa, besok-besok juga bisa kok…”
“Iya, Ma. Waalaikum salam…”
Setelah mengakhiri pembicaraanya, Lily kembali memeluk Zahra.Matanya pun mulai berkaca-kaca. Zahra yang merupakan teman dekat Lily pun sudah hafal jika Lily punya masalah.
“Lily, ceritakanlah masalahmu padaku. Mungkin itu bisa membuatmu sedikit lega. Ayo, cerita saja. Mungkin aku bisa membantumu,”
“Hm,…sebenarnya… sebenarnya tadi aku…..Lupakan sajalah. Ayo kita masuk. Bel sudah bunyi. Bu Rina bisa marah kalau kita tak datang tepat waktu. Apalagi sekarang waktunya presentasi,”kata Lily dengan wajah lebih cerah.
Mereka masuk kelas dan Zahra pun hanya menurutinya saja.
*****
“Septi, kamu mau kemana? Ini kan sudah hampir waktu Maghrib?”tanya mamanya begitu tahu anak semata wayangnya mulai meyalakan gas sepeda motor.
“Septi mau ke rumah teman, Ma. Ngerjain tugas,”jawabnya.
“Lho, kamu nggak bawa tas?”tanya mamanya lagi.
“Iya, buku Septi sudah ada di rumah Yuli,”jawabnya sambil terus menyalakan gas yang selalu tak bisa.
“Sebaiknya kamu pakai sepeda saja,rumah Yuli tidak begitu jauh, kan ? Mesin sepeda motornya tadi rusak, baru besok dibetulinnya. Kamu nggak keberatan kan kalau…” Belum selesai mamanya memberi penjelasan,Septi sudah memotong.
“Yah, Mama….Kenapa nggak bilang dari tadi!”
Dengan sedikit kecewa ia mengambil sepeda United-nya itu. Wajahnya sedikit cemberut. Ia pun pergi tanpa memberi salam.kayuhannya pun terlihat makin cepat.
“Septi, Septi. Kapan kamu berubah, Nak?”kata mamanya menyayangkan tingkah laku anaknya .
Ya, Septi mulai menjadi anak yang keras dan sedikit membandel ketika pindah rumah. Hal itu disebabkan karena usaha papanya yang mengalami kebangkrutan. Hidupnya yang semula serba ada, mau apa saja timggal tunjuk,ingin ini, itu, pergi ka sana , atau ke manapun tinggal panggil supir…kini tak lagi seperti itu. Ia telah kehilangan semua kenikmatan yang membuatnya hidup bak sang putri. Dan sekarang, apa yang diinginkannya, harus tetap dipenuhi. Termasuk dengan sedikit pemaksaan. Jika tidak, emosi marahnya yang akan bertindak.
“Hai Sep, jadi juga kau ke rumahku?”tanya Yuli.
“Ya iyalah, udah sampai di sini masa’ dibilang gak jadi?”
“Ya, ya. Jangan marah dong Sep. Aku kan cuma bercanda. Nggak marah kan ?”kata Yuli dengan raut wajah yang berbeda dari Septi.
Septi pun langsung menceritakan apa-apa yang dialaminya tadi. Termasuk tentang kekesalannya kepada mamanya. Sesekali ia melihat barang-barang di kamar Yuli. Ia ingat kenangan masa lalunya. Ia rindu dengan kehidupannya yang dulu. Ada rasa iri dalam hatinya.Tatapannya jadi kosong .
Ketika Yuli dan Septi sedang asyik mengerjakan tugas, datanglah IbuYuli, Bu Rina namanya.Dengan membawa dua gelas minuman dan sepiring makanan kecil, ia masuk dan menyapa mereka berdua.
“ Yuli…, masa’ belajar radionya dibunyikan keras begitu?”tanyanya sembari meletakkan apa yang dibawanya tadi di meja.
“Itu juga tugas, Bu.Pelajaran Agama…, kami disuruh mendengarkan ceramah lalu meringkas isinya,”jelas Yuli.
“O, begitu. Ya sudah teruskan saja.Itu minumnya ada di meja.” Kata Bu Rina lalu meninggalkannya.
Adzan `Isya’ sudah berkumandang. Septi berniat pulang. Namun Yuli menyarankannya untuk sholat lebih dulu.Septi pun akhirnya mau, daripada di rumah dengan suasana yang seperti itu.Ia lalu pulang sendirian. Malam itu begitu dingin. Sampai-sampai bulu kuduknya pun berdiri.
*****
“Ya Allah, lusa aku harus berangkat. Ini untuk pertama kalinya aku mewakili sekolah untuk perwakilan tingkat kota . Di Surabaya nanti, berapa anak yang akan menjadi sainganku? Mampukah aku?” Kata-kata seperti itu terus saja menghantui Minah setiap hari, setiap saat.
“Minah, cepat belajar!”pinta ibunya.
“Iya, Bu,”jawabnya singkat.
Minah langsung menuju kamarnya. Tumpukan buku-buku yang tadi siang dipinjamnya dari perpustakaan kota masi tertata rapi.Hari ini ia masih sibuk dengan buku-buku dari Bu Rina, guru Biologinya.Bukannya beklajar, Minah malah merebahkan tubuhnya ke tempat tidur….
“Alhamdulilah, Alhamdulillah, Alhamdulilah, Alhamdulillah….Terima kasih ya Allah,”ucap syukur Minah berkali-kali.
“Minah, bangun Nduk. Disuruh belajar kok malah tidur?”kata Ibu Minah yang tiba-tiba membangunkannya dari mimpi indah itu.
“Astaghfirullah, Ibu….”kata Minah sembari memeluk tubuh ibunya.
“Kamu kenapa to Nduk? Mimpi apa kok sampai syukur seperti itu?’tanya ibunya.
“Minah mimpi, Bu. Minah jadi juara IPA se-Indonesia. Semua guru dan teman-teman Minah senang sekali. Minah juga senang, Bu…,”katanya menjelaskan.
“Semoga itu bisa jadi kenyataan ya Nduk.Kalau kamu kecapekan, ya sudah istirahat saja. Tapi jangan lupa, sholat `Isya’ dulu,”pinta ibumya.
“Pasti,Bu.”
*****
“Ih, sebel. Lagi-lagi kena hukuman. PR kurang satu nomor saja dihukum kayak gini. Ini kan hanya sekolahan desa, tapi kenapa aturannya ketat banget. Sebel!!!,”keluh Septi yang saat itu sedang mencabuti rumput di depan kelasnya.
“Ini semua gara-gara Minah. Anak itu selalu membuatku susah.”
Sepuluh menit kemudian Septi telah selesai dari hukumannya.Tapi mukanya tetap saja masam.Terlebih lagi ketika melihat Minah dan kawan-kawanya tertawa. Makin kecut saja raut mukanya.
“Hai Minah. Kamu harus ganti rugi atas kasalahan tadi. Sekarang giliran kamu yang harus mencabuti rumput itu. Ayo cepat!”pintanya dengan memaksa.
“Kenapa aku? Yang salah kan kamu. Dan aku hanya disuruh Pak Ikhwan untuk memberi ide hukuman apa yang cocok untuk kamu. Itu lebih ringan dibanding minggu lalu. Kamu masih ingat kan , ketika kamu harus lari tiga kali sambil membawa tulisan ‘SAYA MINTA MAAF KARENA TIDAK BISA MENYELESAIKAN TUGAS DENGAN SEMPURNA’ itu.” Jelas Minah panjang lebar.
“Huh,…..memang menyebalkan kalian semua,”jawab Septi yang kemudian langsung pergi.
*****
Hari ini Minah berangkat ke Surabaya . Semua teman-temannya mendo`akan keberhasilannya, termasuk Ibu dan guru-gurunya. Sampai di sana perlombaan dimulai. Lomba ini untuk perorangan. Banyak sekali yang mengikutinya. Namun Minah tetap terlihat optimis. Ia yakin, dengan segala usaha dan do`a dari semua orang yang dicintainya, ia bisa mendapat hasil yang baik.
Babak pertama telah berakhir. Semua peserta deg-degan menanti hasil. Bu Rina dan Pak Rifa’i yang menjadi pembimbing Minah pun turut cemas. Mereka tak tahu apa Minah masuk babak semi final. Mereka mencoba untuk tetap optimis dan terus berdo`a, termasuk Minah sendiri.
Dan akhirnya, juri membacakan hasilnya. Ada 12 peserta yang lolos ke babak emi final, termasuk Minah. Perlombaan pun kembali dilanjutkan. Suasana tegang. Waktu yang disediakan panitia hanya 60 menit untuk mengerjakan soal essay sebanyak 15 buah. Terlihat wajah Minah masih riang. Ia tersenyum, sepertinya soal-soal itu amat mudah baginya. Terbukti, ia yang pertama kali memgumpulkan jawaban. Bersama dengan kedua gurunya, ia kembali berdo`a semoga mendapat hasil yang terbaik.
Tibalah waktunya untuk mengumumkan siapa yang masuk babak final. Akan ada tiga peserta yang diambil. Namun itupun ada lomba lagi. Dan saat itu pula pelaksanaannya. Bisa dibayangkan betapa sulitnya.
“Yang masuk babak final adalah,….Ahmad Fathoni dari SMAN 4 Madiun. Desi Indah Putri dari SMAN 1 Surabaya. Dan yang terakhir,…..Aminah Randiputri dari SMA Keritapura.”
“Alhamdulillah, kamu masuk final, Minah,”kata Bu Rina pada Minah.
Minah pun tak mampu lagi berkata. Ia senang sekali. Ia tak menyangka anak desa sepertinya bisa masuk final lomba tingkat propinsi.Seketika itu pula ia langsung mengucap syukur dan bersujud.
Dan akhirnya, lomba dimulai kembali. Kali ini dalam bentuk adu cepat. Beberapa pertanyaan telah dijawab Minah dengan tepat. Dua peserta lain kalah cepat dengannya. Sudah dapat dipastikan, Minahlah yang akan menjadi juaranya. Bu Rina dan Pak Rifa`i pun terus memberinya semangat. Begitu juga dengan dua peserta lainnya.
Perlombaan telah usai. Tiga finalis itu masih dalam keadaan harap-harp cemas. Tak tahu apa yang akan terjadi. Hingga datang waktu pengumuman itu. Tak sulit bagi para jura untuk menentukan siapa juaranya.
“Baiklah para peserta dan pendamping sekalian. Saya akan mengumumkan siapa pemenangnya.Juara ketiga didapat oleh Desi Indah Putri dari SMAN 1 Surabaya. Juara kedua didapat oleh Ahmad Fathoni dari SMAN 4 Madiun. Dan the best kita kali ini adalah… Aminah Randiputri dari SMA Keritapura.”
Seketika itu pula dua guru pembimbing Minah memberi selamat dan memeluk tubuhnya. Mimpi Minah menjadi kenyataan. Ibunya pasti senang mendengarnya.
*****
Berita kemenangan Minah itu pun tersebar di sekolahnya. Lebih dari itu, juga masuk media cetak. Sungguh mengherankan anak desa bisa jadi juara satu tingkat propinsi. Semua orang yang mengetahui hal itu pun juga sulit percaya,termasuk Septi.
Di bawah rindangnya pohon, Septi merenung akan nasibnya. Ia membayangkan kehidupan Minah yang enak walaupaun anak orang miskin. Ia ingin menjadi seperti Minah. Disukai teman-teman dan pandai. Ia mulai bisa menerima keadaan ekonomi keluarganya.
“Aduh,” terdengar suara yang mengagetkan lamunan Septi. Dilihatnya seorang anak yang sedang mengembala seekor anak kambing. Dan matanya terbelalak lebar ketika tahu bahwa itu adalah Minah.
“Minah…..” Septi menghampiri Minah dan langsung memeluknya.
“Minah, maafkan kesalahanku selama ini. Aku udah salah nilai kamu. Maafkan aku…..,”pinta Minah sambil meneteskan air mata.
“Septi, kamu nggak salah kok. Aku sudah maafin semua salah kamu. Kita kan teman…,”kata Minah menenangkan.
“Terima kasih Minah,”jawabya sambil terus menangis.
Septi pun akhirnya bercerita tentang semua masalahnya, termasuk masa lalunya. Juga tentang tindakannya yang selalu memanfaatkan kelemahan Lily ketika ulangan maupun ujian. Ia merasa menyasal atas semua itu. Ia merasa tak memiliki teman. Teman sejati yang selama ini hanya didapatkannya dengan kekayaan. Ia tak pernah memandang baik anak desa.
Dan kini ia benar-benar menyesal, ia ingin merubah hidupnya.
“Baiklah Septi. Sekarang aku adalah temanmu. Kita berteman. Takkan ada permusuhan dan dendam di antara kita,”ajak Minah.
“Terima kasih Minah. Kamu memang teman yang baik,”jawab Septi.
Lalu,mereka pun saling mengikatkan telunjuknya sebagai tanda persahabatan. Senyum lebar terkembang di wajah keduanya.
0 coretan:
Posting Komentar